Di hari yang panas ini, saya kenyang sekali. Hmm, tetapi
saat ini saya sedang tidak ingin membicarakan makanan. Saya ingin membicarakan
tentang sekolah. Sekolah yang sudah beberapa tahun saya tinggalkan, nampaknya
memang sudah sangat berbeda dari zaman saya *kayak sudah umur berapa ya*. Ini
dimulai dari seorang Ibu di kantor, yang membawakan kami makanan enak,
sabu-sabu. Kami sibuk makan tetapi orang yang memberi entah berada di mana.
Ternyata si Ibu baik hati yang dermawan ini sedang sibuk di
Diknas katanya, gara-gara nomor NIS (nomor induk siswa) milik putranya
bermasalah *entah hilang atau ada kesalahan data diri*. Well, saya juga baru
paham kalau sudah ada perubahan yang sangat jauh dari masa saya sekolah dulu. Sekarang,
kartu NIS harus disimpan sejak siswa menjalani ujian nasional di bangku sekolah
Dasar. Informasi data diri yang tersimpan di NIS ini tidak boleh salah, karena
berakibat Anda harus sibuk wira-wiri ke diknas seperti Ibu di kantor saya ini.
ZZzzz, rempong sekali ya.
Jujur, ini adalah uneg-uneg saya sejak beberapa bulan lalu
ketika saya tanpa sengaja menemukan artikel menarik di detik.com mengenai
seorang anak yang berhasil lulus dengan sangat baik dari salah satu perguruan
tinggi negeri terbaik di Indonesia dengan usia yang terbilang muda. Beritanya
cukup heboh dan saya yakin Anda juga pernah mendengar berita tentang sosok unik
berprestasi ini, Andri Rizki Putra. Dengan sedikit browsing, saya pun langsung
menemukan serentetan informasi tentangnya.
Satu hal yang membuat saya terkagum-kagum adalah karena
latar belakangnya yang tidak melalui sekolah menengah atas. Ya, hanya berbekal
ujian paket untuk mendapatkan keseteraan lulusan SMA, dia berhasil membuktikan
bahwa lembaga resmi pendidikan ini bukan satu-satunya jalan meraih kesuksesan.
Sontak saya terbangun dari mindset yang selama ini terbangun
dalam diri. Saya akui, saya juga berpendapat sama dengan kebanyakan orang,
sekolah adalah nomor satu. Tetapi saat ini, sedikit ada pergeseran tentang apa
sebenarnya sekolah itu? Terlebih setelah saya menyunting artikel mengenai unschool:
Cara Tidak Menyekolahkan Diri Sendiri beserta Anak‐Anak Anda. Sebenarnya tidak
salah bila saya berpikir bahwa sekolah adalah nomor satu, tapi ada salah satu kata
yang harus saya revisi, menjadi “pendidikan adalah nomor satu”.
Bila dulu setiap orang mengagung-agungkan sekolah mungkin
memang tidak salah. Tetapi masalahnya zaman sekarang sudah berubah. Sekolah
sudah bukan lagi sumber pendidikan terbaik untuk generasi muda. Nilai-nilai
moral yang baik sepertinya sudah mulai tidak diterapkan dengan baik di lembaga
resmi ini. Saya merasa agak miris ketika membaca berita tentang tindakan criminal
yang dilakukan orang siswa-siswa yang mulai marak belakangan ini.
Apa yang salah dari sistem pendidikan ini? Saya teringat
bagaimana dulu saya mendewa-dewakan nilai sekolah saya. Harus nomor satu lah,
tidak boleh di bawah tiga besar lah, dst. Saya yakin itulah apa yang ada di
pikiran kebanyakan orang. Saat itu saya terus berpikir bagaimana caranya untuk
berada di puncak. Belajar semalam suntuk, pagi agak ngantuk tapi ditahan-tahan.
Kadang saat ujian tidak sempat mandi pagi, karena pagi pun masih belajar lagi
*tetapi pulang ujian langsung mandi*. Semua dilakukan membabi buta demi nilai
bagus. Pernah saat SMP saya tidak berhasil mempertahankan tahta 3 besar saya.
Saya bahkan tidak masuk 10 besar kota sama sekali *di saat yang sama, di
sekolah yang berbeda, cami berhasil di puncak tahta*.
Sedih sekali rasanya melihat teman-teman naik panggung, saya
hanya menjadi penonton. Inilah pikiran yang tertanam di otak saya semasa
sekolah. Nilai nilai nilai dan nilai. Semua dilakukan demi angka bagus di
rapot. Lalu bagaimana dengan kehidupan yang lain? Nol. Saya tidak mempunyai
keahlian khusus lainnya selain menyanyi. Saya aktif menjadi tim paduan suara
dan mengikuti beberapa perlombaan antar kota. Pun, menurut saya, itu hanya
bakat setengah-setengah karena hanya lalu begitu saja karena saya tidak
menekuninya.
Saya sempat khawatir
tidak bisa melanjutkan SMA di sekolah favorit di sekolah saya. Saat saya
mendaftar ke SMA, di hari pertama pendaftaran nilai UNAS SMP saya berada di
urutan sekitar 10 atau 11. Tidak buruk memang, tetapi saya tidak biasa di angka
itu. Tiga besar adalah target saya sejak kecil. Setelah menjalani ujian masuk
SMA yang kemudian nilainya dirata-rata dengan UNAS SMP, peringkat saya naik di
tiga besar. Done. Target tercapai. Now what? Di SMA pun Alhamdulillah saya
mendapatkan peringkat 1 UNAS SMA di kota saya. Then what? Ternyata tidak ada
efek yang terlalu bagaimana-bagaimana, di bangku kuliah pun harus bersaing
dengan mahasiswa-mahasiswa keren dari berbagai sekolah favorit. Nilai saya agak
tumbang di sini. Kuliah molor dan IPK juga tidak cumlaude (tetapi sudah lumayan
lah, level aman) *grin*
Bagaimana dengan menyontek? Sesekali pernah menyontek. Tentu
saja. Di sekolah Dasar menyonteknya masih malu-malu, di SMP sangat malu, di SMA
sedikit malu, di kuliah naik ke level tidak tahu malu *tepok jidat*. Kalau
ujian saya tidak menyontek, tetapi tugas kampus sangat sering menyontek. Sudah budaya
yang berakar. Satu mahasiswa mengerjakan tugas, 100 mahasiswa lain tinggal
menyalin.
Kembali ke topik ujian nasional, lalu apakah sekarang tujuan
dari ujian nasional. Tidakkah kita semua semakin melihat bahwa ujian nasional
semakin banyak kecurangan. Kalau dulu, mungkin siswa malu-malu saat menyontek. Semakin
ke sini-sini, guru-guru di sekolah malah menyarankan siswa-siswa yang pandai
untuk membantu temannya yang membutuhkan katanya. Kalau saling belajar bersama
sebelum ujian sih OK, membantu teman belajar namanya, seperti ketika zaman saya
dulu. Tetapi kalau membantu saat ujian berlangsung itu apa namanya? Ini benar-benar
terjadi, zaman adik saya sudah mendapatkan himbauan macam ini. Saya kaget
bercampur geli saat itu.
Bagaimana moral generasi muda akan dibangun dengan baik bila
ujian nasional saja sampai menghalalkan segala cara? Apa yang sebenarnya
dikejar? Hanya angka kan? Angka bagus dengan cara pintas dan celakanya malah
didukung oleh pihak pemberi teladan. Tidak heran kalau anak-anak sekarang
berbeda dengan generasi sebelumnya.
Setelah menyunting artikel itu saya jadi mendapatkan pengertian
lain tentang apa sebenarnya pendidikan itu. Pendidikan lah yang kita semua
butuhkan. Tetapi bukan berarti pendidikan hanya dari sekolah. Ada banyak media
yang dapat digunakan untuk memintarkan diri, seperti home schooling atau bahkan
unschooling, seperti di artikel di atas. Dengan unschooling, orang tua lah yang
menjadi sumber pendidikan anak-anaknya. Orang tua harus cerdas menggali
informasi. Tetapi bukan berarti orang tua harus menjadi superman yang serba
bisa. Ada berbagai cara yang bisa kita ambil untuk mengembangkan kemampuan
anak.
Saya sudah agak capek mengetik ini. Hehe.. intinya, dari
artikel itu saya mulai menggeser pemikiran saya tentang dewa angka. Tentang definisi
pintar. Tentang lembaga resmi yang namanya sekolah. Tidak semua sekolah baik,
maka pilihlah dengan tepat yang sesuai dengan kebutuhan Anda. Tidak semua
anak-anak balita harus pandai baca tulis berhitung, karena sebenarnya belum
saatnya otak meraka memikirkan hal semacam itu.
Bila memang belum menemukan sekolah yang tepat untuk anak,
tidak ada salahnya untuk memilih unschool. Tentu saja, orang tua harus mau meluangkan
waktu untuk membagi ilmu dengan buah hatinya. Bagaimana dengan legalitasnya? Ijazah
misalnya? Setelah browsing mungkin Anda akan menemukan sebuah sertifikasi
internasional yang bahkan diakui di seluruh sekolah di dunia, tidak hanya di
Indonesia. So, Anda bisa memilih ujian sertifikasi penyetaraan nasional (berbagai
paket) atau international dari Cambridge yang dapat dijumpai di kota-kota besar
Indonesia. Dengan unschool Anda dapat mengarahkan dan menguatkan potensi anak
sejak dini.
Bagaimana dengan biaya? Terbilang hemat karena Anda tidak
perlu menyiapkan uang gedung, SPP, uang buku dan tetek bengeknya. Cukup
menabunglah untuk biaya sertifikasi jika Anda menginginkannya. So, tertarik
untuk mempelajari unschool lebih jauh?
No comments:
Post a Comment