Pernah tidak kalian mengalami hal serupa dengan saya? Yap,
listrik mati 2 hari full. Tidak pernah terbayang sebelumnya bahwa listrik bisa
mati selama ini. Bahkan saat banjir di bulan Januari Februari lalu pun, paling tidak
listrik mati hanya beberapa jam. Salah siapa? PLN kah?
Kejadian ini terjadi beberapa bulan lalu. Awalnya saya kira
ini hanya pemadaman bergiliran seperti biasa, mungkin 2 sampai 4 jam. Namun
saya tunggu-tunggu kok tidak nyala juga. Iseng saya browsing sana sini, saya
lihat di blog sebelah kabarnya listrik kita sedang mengalami defisit parah.
Waduh, bisa kembali ke jaman batu dong tidak ada listrik.
Berkali-kali saya menelepon call center PLN menanyakan kapan
listrik menyala di daerah saya. Berdasarkan informasi PLN, ada part yang harus
diperbaiki sebelum lampu bisa menyala lagi. Oh, Alhamdulillah ternyata bukan
karena kehabisan jatah listrik, pikir saya. Saya berusaha sesabar mungkin hidup
tanpa listrik sementara. Handphone, tablet, megap-megap kehabisan baterai. Saya cuma bisa meringis saja. Beruntung laptop saya masih ada sisa daya yang
kemudian saya gunakan untuk mengisi baterai handphone. Sekali lagi, saya
ucapkan Alhamdulillah.
Hal yang paling membuat merana saat listrik mati adalah kepanasan.
Saya mendengar anak-anak ibu kos juga lomba menangis karena kegerahan. Maklum,
mereka terbiasa tidur dengan sejuknya AC, jelas saja kalau kepanasan begini
jadi rewel. Saya juga sebenarnya pingin rewel, tapi mau rewel ke siapa? Lagipula
saya sebenarnya tidak maniak AC juga. Favorit saya adalah kipas angin. Sementara
ini, kemampuan masih di kipas angin sih 😂
Malam sebelum
berangkat tidur, saya siapkan semua peralatan, kipas manual dan lotion anti nyamuk. Lengkap, tinggal
telepon PLN lagi untuk menanyakan progres. Secara listrik mati sudah 8 jam
lebih. Info dari PLN, “perbaikan masih belum selesai, mohon bersabar,”. Ah,
yasudahlah, cobaan. Saya mulai tidur dan terlelap dengan bermandi keringat. Alhamdulillah
tetap bisa lelap.
Keesokan harinya listrik masih mati. Ibu kos dan
anak-anaknya satu per satu mandi di masjid. Benar-benar hiruk pikuk pagi hari ini. Sementara,
saya beruntung karena semalam sudah menyiapkan persediaan air untuk mandi pagi
sebelum stok air di tandon habis. Saya berangkat bekerja seperti biasa dan ketika
pulang bekerja lampu belum juga nyala. Wah, listrik mati sudah lebih 24 jam ini.
Listrik baru nyala saat menjelang malam.
Alhamdulillah, malam ini saya tidur dengan ditemani kipas angin 😁
Saya sudah terlanjur tenang senang listrik sudah nyala, eh
besoknya mati lagi *tepok jidat*. Meskipun matinya cuma sebentar, lumayan bikin
deg-degan juga khawati listrik mati 2 hari lagi seperti hari kemarinnya. Dari sini saya terpikir, betapa
pentingnya peranan listrik dalam hidup manusia. Lalu bagaimana bila gosip
mengenai stok listrik yang tipis itu menjadi nyata? Hidup tanpa listrik 2 hari
saja sudah begini rasanya. Jengkel marah tidak karuan. Tidak produktif pula. Biasanya
pulang kerja saya gunting ini itu, jahit ini itu, bikin ini itu. Nah selama dua
hari listrik mati, saya hanya tiduran kipas sana kipas sini hingga terlelap.
Mungkin bisa diatasi
dengan pemadaman bergilir. Lalu pemadamannya berapa lama? Dengan kondisi
seperti ini saja pemadaman bergilir biasanya minimal 2 jam. Lalu bagaimana bila persedian
listrik tidak mencukupi nanti? Bagaimana pula dengan industri kecil yang
mengandalkan listrik PLN? Kalau perusahaan besar mungkin sudah siap pembangkit
sendiri ya. Tidak habis pertanyaan yang muncul di kepala saya silih berganti. Apakah
ada hal yang dapat kita lakukan untuk memperpanjang usia persediaan listrik
kita?
Saya teringat dengan iklan layanan masyarakat mengenai
penghematan listrik baru-baru ini. Pesan yang disampaikan sangat mengena
menurut saya. Di dalam iklan itu ditunjukkan bahwa salah satu tokoh dengan
seenaknya melakukan pemborosan listrik karena merasa bahwa dia melaksanakan
kewajibannya membayar listrik. Hal ini sangat big no no. Pemikiran yang sangat sempit. Bukan hanya kita lhoh yang
butuh listrik, anak cucu kita, generasi yang akan datang juga membutuhkan listrik
untuk melanjutkan hidupnya.
Saya masih ingat dengan bagaimana kebiasaan adik saya
menggunakan listrik di rumah. Dia sangat menyukai situasi terang benderang. Saking
cintanya, dia suka menyalakan listrik di pagi hari. Jadi saat saya mematikan
lampu, kemudian dia datang menyalakannya, saya matikan, dia nyalakan lagi, begitu
seterusnya. Saya yakin di luar sana juga ada orang yang seperti adik saya. Bayangkan
saja berapa banyak listrik yang terbuang percuma bila ada 1000 orang yang
melakukan ini. Sungguh disayangkan.
Pemborosan lain yang sangat sering saya temui adalah tidak mencabut charger handphone setelah digunakan. Meskipun daya yang digunakan
sangat rendah, tapi bisakah kita bayangkan apabila ada berjuta-juta charger mengalami hal yang sama? Ada berapa juta watt daya
yang telah kita buang percuma? Tidak perlu mencari contoh yang jauh, calon
suami saya pun tipe orang yang hampir tidak pernah mencabut charger. Dia berargumen bahwa cara ini lebih praktis saat charger akan
digunakan lagi. Padahal bukankah charger
akan lebih cepat rusak bila dia dibiarkan “kekenyangan” listrik begini?
Contoh lain adalah televisi. Calon kakak ipar saya paling
juara dalam hal ini. Setiap malam menjelang, mereka tiduran di depan televisi. Bisa
dipastikan bahwa TV akan nyala sampai pagi lagi. Ini ceritanya bukan orang nonton TV tetapi TV nonton orang
tidur *tepok jidat*. Melihat fenomena ini, saya berupaya
selalu ingat untuk memasang timer di TV kakak supaya saat mereka tertidur, TV
nya pun bisa otomatis “tidur”. Lagi, bukan hanya kakak yang mempunya kebiasaan
seperti ini. Saya pun selalu menyalakan TV setiap akan tidur. Saya selalu
berusaha ingat untuk menyalakan timer sleep
TV supaya TV tidak menyala semalaman hingga pagi. Ya, meskipun ada beberapa
menit yang tetap terbuang karena saya sudah terlelap duluan, tetapi masih lebih
baik bukan daripada borosnya berjam-jam hingga pagi?
Saya menyadari bahwa PLN sudah berupaya untuk
mensosialisasikan berbagai sikap penghematan listrik di iklan layanan
masyarakat. Namun entah sepertinya upaya ini masih belum benar menjangkau dan “mengetuk”
semua lapisan manyarakat untuk mengikuti himbauannya. Saya yakin bahwa mereka
paham dengan sikap-sikap cara menghemat listrik. Namun saya tidak yakin bahwa
mereka memahami benar manfaat penghematan dan dampak dari pemborosan yang kita
semua lakukan.
Saya teringat dengan perkataan bos saya saat mengoreksi
materi presentasi yang saya siapkan.
“Show them the number”.
Ya, katakan dengan angka. Buktikan dengan angka supaya audience kita paham mengenai value pesan yang kita sampaikan. Orang-orang
tidak akan mengerti tanpa ada bukti. Tanpa penjelasan riil dan eksak. Saya pikir
PLN bisa menjelaskan dengan cara sederhana untuk menunjukkan betapa besar manfaat
menghemat bahkan 1 watt daya pun dari setiap orang setiap menitnya.
Saya paham bahwa cara-cara yang telah disebutkan adalah
konvensional. Mungkin sebagian orang menyebutnya kuno. Namun bagaimana lagi,
cara yang disebut kuno ini pun belum benar dilakukan oleh masyarakat. PLN sebaiknya
tetap menggiatkan sosialisasi penghematan listrik dengan berbagai media. Bila pun
media TV terlalu mahal di budget, kita bisa meningkatkan frekuensi di radio. Siapa
bilang radio tidak ada penggemarnya? Bahkan saya jadi aware dengan brand mobil baru
Dats*n Go Pl*s dari radio lhoh. Setiap pindah gelombang radio selalu ada iklan
mobil ini, hingga melekat sekali di ingatan. PLN pun saya kira bisa menerapkan
hal yang sama untuk mengedukasi masyarakat dan melekatkan budaya hemat listrik
dalam ingatan mereka.
Setelah masyarakat benar memahami manfaat dari penghematan
listrik, PLN bisa merambah ke cara yang lebih modern seperti dengan
mensosialisasikan desain bangunan yang hemat energi. Seperti apa bentuk rumah
yang hemat energi? Seorang tetangga ibu kos di Bekasi ini ada yang memasang peralatan
tenaga surya di genteng rumahnya lhoh. Pemikiran yang sangat maju bukan? Namun saya
dengar peralatan semacam ini masih mahal dan sulit dijangkau semua masyarakat. Semoga
di masa mendatang peralatan ini juga bisa dimiliki oleh setiap rumah. Tentu nilai
penghematannya juga semakin besar.
Sebelum berpikir dengan cara yang terlalu maju seperti solar cell, rumah orang tua saya di
kampung juga sedikit banyak telah menerapkan desain rumah hemat energy lhoh. Bagian
dapur rumah saya tidak memiliki ventilasi yang langsung menerima sinar
matahari. Jadi dulu lampu selalu menyala sepanjang hari di area ini. Namun semenjak
renovasi di lantai dua yang dijadikan jemuran, ibu meminta lantainya
untuk ditanam beberapa kaca supaya cahaya bisa masuk ke dalam. Jadi sekarang
dapurnya sudah tidak gelap lagi karena mendapatkan cahaya matahari dari atap kaca, yang sekaligus
menjadi lantai jemuran. Pemikiran sederhana namun berdampak besar.
Ide cerdas lain adalah pemikiran calon kakak ipar saya. Dia memang
paling jago soal mekanik dan elektronika. Dia terpikir untuk membuat listrik di
rumahnya sendiri bukan dari PLN ataupun genset. Saya cukup memahami logika
garis besarnya, namun saya tidak dapat menyampaikannya di sini karena masih
dalam tahap pembuatan prototype. Intinya
adalah, ada banyak ide segar di luar sana yang bisa jadi merupakan terobosan
besar dalam upaya membantu PLN menyelamatkan persediaan listrik bila pun belum mampu
membuat pembangkit listrik baru. Potensi-potensi cerdas seperti ini lah yang
perlu kita kembangkan, tidak hanya berhenti di satu orang, tetapi bisa
dimanfaatkan oleh semua masyarakat.
No comments:
Post a Comment