Saya yakin sih, pasti hampir semua orang pernah kesandung
tilang di jalan, baik saat naik mobil maupun motor. Berhubung saya belum bisa
nyetir mobil dan belum beli mobil juga, jadi ini ceritanya pas saya kena tilang
motor ya *catet*.
Kalau ditanya sudah berapa kali kena tilang, hmmm jujur
lupa, lumayan sering sih, hampir tiap tahun ada-ada saja ceritanya, kecuali
tahun lalu, saat saya stay di kawasan Lippo Cikarang. Secara, saya tidak
membawa motor, hanya nggowes alias bike to work. Sesekali pakai motor, itupun
pinjam dari teman dan jarang sekali sampai ke jalan besar *jadi tidak sempat
ketemu polantas sehingga tidak ada yang menilang*.
1. 1.
SMP
Saya lupa sih persisnya kapan pengalaman tilang pertama
saya. Sepertinya sih sekitar usia SMP. Ya, memang saya sudah belajar naik motor
sejak SD kelas 5. Kebetulan jarak sekolah dan rumah cukup jauh, jadi saya
tertarik untuk belajar sejak dini, tapi cuma belajar saja, tidak sampai jalan
sendirian pakai motor. Masuk jenjang SMP, yang jaraknya masih jauh dari rumah
*nasib rumah di desa*, saya mulai berani pakai motor ke sekolah, untuk
keperluan kegiatan ekstrakurikuler di sore hari. Ini SMP paling favorit di kota saya, makanya jauh-jauh dibelain juga *sedikit pamer*. Pada jaman itu, masih jarang
sekali bocah SMP bawa motor ke sekolah lhoh. Jadi kalau saya ingat-ingat, motor
yang parkir di sana hanya beberapa, dan itupun anak cowok semua yang bawa.
Yasudahlah, saya tetep PD saja, daripada saya harus nggowes dari rumah seperti
semasa SD dulu, lumayan bikin saya kurus kering *sekarang malah susah langsing *.
Naah, saat-saat kegiatan sore ini nih, saya akhirnya
mengalami pengalaman tilang pertama. Ceritanya nih, lagi ada razia di jalan
raya yang biasa saya lewati, seingat saya di jalan Soekarno Hatta Probolinggo.
Dari kejauhan sih saya sudah bisa melihat ada yang ramai-ramai di depan. Muncul
ide cerdas saya untuk segera belok kiri ke gang kecil untuk menghindari
pengecekan polisi. Tapi apa daya, sepertinya saya kurang cerdas karena gang
yang saya pilih terlalu dekat dengan lokasi dan memang di sana sudah siap
beberapa polisi yang standby menyambut saya *alamak*. Sukses kena tilang
gara-gara saya belum punya SIM. Saya tidak bisa berkelit, tidak melawan hanya
pasrah menunggu polisi menyerahkan surat tilang dan STNK motornya diminta untuk
dijadikan jaminan. Sesampainya di rumah, saya serahkan ke orang tua. Done.Saya tutup mata tentang proses menebus STNK dan berapa denda yang harus dibayarkan.
2. 2.
SMA
Pengalaman selanjutnya adalah saat saya sudah di bangku SMA.
Saya kena tilang di daerah mana yaa, saya lupa. Yang jelas saat itu saya dalam
perjalanan pulang dari rumah teman di daerah Dringu, Kab Probolinggo. Saat
mulai memasuki kota, kena razia lagi. Dari jauh sudah keliatan, tapi tidak ada
jalan tikus untuk lari. Lagi-lagi pasrah, kena tilang gegara belum punya SIM.
Saya kurang paham bagaimana mengurusnya,
seingat saya, melalui sidang. Tentu saja yang mengurus sidang adalah orang tua
saya, saya tidak ikut-ikut. Teman saya
pada saat yang sama juga kena tilang, padahal dia punya SIM dan surat kendaraan
lengkap *meskipun SIM nya nembak*. Eh ternyata yang dimasalahin adalah lampu
belakang motor yang katanya menyilaukan pengendara di belakangnya. Saya
kurang paham juga silaunya bagaimana tapi memang teman saya ini hobi modif motor
sih.
Memasuki bangku kuliah, akhirnya orang tua saya membuatkan
saya SIM, karena saya harus belajar di luar kota yang jauh dari pengawasan. Awalnya
sih mau dapat SIM nya dengan jalan lurus alias lewat lulus tes meskipun orang tua
menyarankan untuk langsung tembak saja. Maklum, saya sudah jadi mahasiswa dan
waktu di kampung palingan hanya Sabtu Minggu saja. Saya sok idealis ngotot
ingin ikut tes. Oke, akhirnya saya daftar SIM ditemani ayah. Saya ikut tes
tulis, soalnya seputar peraturan lalu lintas. Intinya bagaimana kita
ber-attitude di jalan lah. Oke lulus. Alhamdulillah, saya semakin percaya diri
untuk lulus tes SIM dengan jujur. Tes selanjutnya adalah tes ride. Awalnya saya
membayangkan kalau tes ride nya adalah tes mengendarai motor seperti biasanya.
Eh ternyata ini tes nya jauh dari bayangan.
Tesnya membuat saya gerah.
Bagaimana tidak gerah kalau tesnya outdoor dan saat matahari teriknya minta
ampun. Tes ride adalah mengendarai motor dengan berkelok-kelok. Persis seperti
latihan dribble bola. Hanya ini objeknya bukan bola tapi motor. Kebayang kan
susahnya. Jadi kaki kita sama sekali tidak boleh menyentuh lantai, harus tetap
di motor selama menyetir berkelok-kelok ituh. Sudah mencoba beberapa kali dan tetap saja
kaki sempat menyentuh lantai untuk menahan motor.
Jujur, menurut saya tesnya ini tidak cukup mencerimnkan
keadaan real ya. Mana ada medan di lapangan dengan jalan berkelok sesempit itu
kan. Dan kenyataan di lapangan pun kaki kita bebas menyentuh lantai kok.
Bahkan jalanan super macet Jakarta pun masih lebih mudah dilalui daripada tes ini. Alhasil, saya gagal tes ride. Dan akhirnya saya pasrah ke orang tua saya untuk
mengurus SIM. Yang saya dengar sih biaya pembuatan SIM nya hampir dua kali
lipat lebih tinggi daripada kalau ikut tes. Saat itu saya kena charge sekitar Rp 220.000 di tahun 2007.
3. 3.
Mahasiswa – cari data tugas akhir
Di kota tempat kuliah, saya semakin percaya diri membawa
motor ke sana sini, karena sudah punya SIM *grin*. Saat kuliah memang
intensitas mengendarai motor cukup tinggi karena saya pergi mengajar privat
setiap hari dan ada beberapa kegiatan di kampus juga.
Meskipun sudah punya SIM, ternyata tidak berarti bahwa kita
bebas tilang *sigh*. Di kota pahlawan ini, saya pun beberapa kena tilang karena
hal-hal sepele. Yang namanya kota besar, tentu jalanannya berbeda dengan kota
asal saya. Di Surabaya ini jalanannya besar lebar dan banyak garisnya. Pernah
suatu ketika, saat saya sedang menuju ke arah kantor Telkom di sebelah Tunjungan
Plaza dan saya dari arah Delta Mall, saya kena tilang karena telat ambil arah
kanan saat akan belok kanan. Jadi seharusnya dari jauh-jauh saya ambil garis
paling kanan sebelum belok kanan *huffttt*. Pas banget di belokan ada pos
polisi. Sukses deh pak polisinya menghentikan motor saya.
Ada dua pak polisi yang cukup muda di sana. Seorang di
antaranya menjelaskan kesalahan saya yang telat ambil jalur kanan. Saya melawan
mengatakan bahwa yang penting kan saya pasang lampu sein belok kanan. Saya rasa
pun saya sudah ambil kanan lumayan jauh dari belokan. Entah ini pak polisi
memang sangat tegas atau ada udang di balik batu, yang jelas saya masih
berusaha untuk mempertahankan diri. Beberapa kali melihat jam karena saya sudah
ada janji dengan pihak kantor tempat saya mengambil data tugas akhir. Akhirnya
saya menyerah dari adu pendapat. Seorang pak polisi mengatakan bahwa saya kena
tilang dan harus membayar sejumlah denda. Polisi yang satunya lagi meminta uang
denda sebesar Rp.100.000. Gila! Pikir saya. Saya ini mahasiswa, kuliah dapat
beasiswa, biaya sehari-hari dari kerjaan freelance, masa harus setor segitu ke
Pak Polisi. SIM saya ditahan sebagai jaminan dan mau tidak mau saya tidak bisa
mundur. Saya lirik isi dompet tidak ada banyak uang, hanya beberapa lembar uang
sepuluh ribuan. Seratus ribu jelas tidak mungkin saya berikan sekarang.
Sepertinya pak polisi “agak mengerti”, jadi mereka menurukan tarif menjadi Rp.
50.000.
Ya Alloh, ini saya mulai berpikir kok denda tilang bisa
ditawar-tawar ya. Kayaknya pak polisi ini kok main-main dengan saya. Saya bilang
bahwa saya tidak ada uang sama sekali. Saya ikut sidang saja. Dalam hati sebenarnya
cukup nekat, karena saya belum ada bayangan seperti apa itu sidang tilang.
Dimana dan apa yang harus saya lakukan saat sidang. Tapi mau bagaimana lagi, saya kok jadi
tidak rela mau bayar denda di tempat saat melihat wajah pak polisinya itu. “Yakin
mau sidang mbak? Jauh lhoh, mahal nanti tebusannya”. Dengan mantap saya tidak
menggubris apa kata pak polisi. “Iya saya sidang saja Pak. Mau bayar di sini
juga saya tidak ada uang.” Well, inilah pengalaman tilang saya pertama yang
harus saya urus sendiri.
Sekitar 3 hari kemudian saya menghadiri sidang tilang.
Lumayan sempat bingung nyasar ke sana sini saat mencari lokasi pengadilannya. Saya
lupa, tapi sepertinya saya sempat lewat pasar Blauran saat perjalanan pulang. Saya
bersyukur sekali bisa mencapai lokasi sidang tepat waktu, tidak telat. Suasananya
sangat ramai dan banyak calo yang menawarkan untuk menggantikan kita mengantri
sidang.
Saya masih blank, no idea bagaimana sidang tilang itu. Saya
mencari nama ruangan seperti yang tertulis di surat tilang dan akhirnya ketemu.
Dan wow super duper rame bokkk! Saya berdesak-desakan untuk bisa masuk ke
ruangan pengadilan. Wow jadi ini bentuknya persidangan tilang. Ruangannya sama
persis seperti ruang persidangan yang biasa kita lihat di TV. Hanya bedanya ini
orangnya banyak banget. Penuh sesak. Dengan susah payah akhirnya saya menemukan
kursi kosong untuk saya tempati sembari menunggu giliran sidang saya.
Bagaimana kita disidang? Ternyata semua orang di sini adalah
orang-orang yang menunggu sidang tilang. Dan sidangnya tidak seperti yang kita
bayangkan dari TV. Jadi bila nama dipanggil, orang itu langsung maju ke meja
staf-staf pengadilan *mungkin hakim pengadilan* di meja depan pengadilan. Kemudian tanda tangan
beberapa kali, membayar denda sejumlah tertulis di kertas yang diberikan, dan
selesai. Yup, that’s it. Kalau sudah dipanggil ya prosesnya sepertinya tidak
sampai 5 menit. Yang bikin lama adalah ngatrinya itu. Entah ada berapa ratus
orang ya ini yang menunggu sidang sebelum akhirnya nama saya juga dipanggil. Tanda
tangan sebentar beberapa kali, membayar denda, hanya sekitar Rp 20.000 an.
Kemudian done. So simple ternyata kalau diniatin ya. Hehe dan yang pasti, dag
dig dug saya akhirnya terjawab dan melegakan. Ternyata kalau ikut sidang, nominal
dendanya tidak sebegitu menyeramkan daripada bayar di tempat tilang, misalnya
ke Pak Polisi yang saya ceritakan sebelumnya. Dan
satu lagi, uang denda pasti masuk ke kas negara, bukan ke kantong pribadi yang
tidak jelas. Meskipun cukup rempong juga sih sidang ini, karena hampir pasti
sidangnya di weekdays, bukan weekend. Jadi kalau orang kantoran harus ijin dulu kan
kalau mau ikut sidang.
Tidak terasa ternyata tulisan saya sudah lumayan panjang
ya. Apakah cerita pengalaman tilangnya sudah habis? Sayangnya belum. Masih ada
beberapa lagi. Kita sambung di post selanjutnya ya. Semoga bermanfaat.
No comments:
Post a Comment