Thursday, July 30, 2009

sebuah renungan

Siang tadi saat menempuh perjalanan menuju Surabaya tidak seperti biasa saya menggunakan jasa bis kota (biasanya pake motor, agak gampang mabuk darat soalnya). Di dalam bis seperti biasa selalu ada pengamen yang mecoba peruntungannya dari penumpang-penumpang yang ada di dalam bis kota jurusan bungurasih – bratang itu. Namun kali ini seorang pengamen wanita ini cukup menarik perhatian saya. Bukan karena saking bagusnya suaranya atau lagunya (maaf, menurut saya suaranya tidak cukup bagus untuk diperdengarkan kepada orang lain). Bukan pula karena saking cantiknya wajahnya. Tidak, bukan karena alasan-alasan itu. Wanita ini, bila sudah bisa disebut wanita, kelihatannya umurnya masih cukup muda. Paling tidak belum ada 23 tahun lah. Atau bahkan mungkin masih di bawah 20 tahun. Dia menyanyi dengan sangat tidak menghibur bila dia memang layak disebut pengamen yang biasanya mengais rezeki dengan menghibur orang lain lewat musik yang dia buat. Tidak ada alat musik, hanya bertepuk tangan dan mengeluarkan suaranya sekenanya. Sampai-sampai lagu yang saya sukai jadi tidak bagus lagi. Namun tiba-tiba ada sesuatu yang menarik perhatian saya.
Crek..crekk..crekkk… eh kok ada bunyi-bunyian aneh, pikir saya. sepertinya itu suara krempyeng (tutup botol yang dipipihkan,red). Dan yang membuat saya terkejut adalah ketika akhirnya saya melihat seorang bocah perempuan, balita tepatnya, yang berdiri tidak jauh dari wanita pengamen tadi. Balita itu, saya yakin umurnya tidak jauh dari 1 tahun. Masih sangat kecil sekali. Bayangkan saja, bocah sekecil itu, berdiri di atas bis dengan memainkan krempyengnya (krempyeng ibunya mungkin). Hebatnya lagi dia (bocah itu) yang pastinya baru saja melewati fase belajar berjalan, sudah bisa berdiri tegak di atas bis. Tanpa berpegangan dan dipegangi oleh apapun dan siapa pun. Miris sekali saat saya melihatnya. Saya jadi teringat, bahkan saya pertama kali berani naik angkot dengan adik saya saat kelas 5 SD. Itupun karena terpaksa karena tidak ada yang menjemput saat pulang sekolah. Naik bis baru berani sendiri ketika sibuk daftar kuliah.
Kembali lagi dengan bocah balita tadi… dia hanya mengenakan pakaian yang maaf, agak bolong. Bajunya lengan pendek dan rok pendek juga. Padahal surabaya panas sekali seperti ini. Kasian sekali. Kemudian saya lihat lagi wanita pengamen tadi. Sampai saat ini saya masih berpikir kalau dia ibu dari balita perempuan itu karena balita itu sesekali tersenyum dan tertawa kepadanya. Wanita ini memakai kaos lengan panjang yang dipadukan dengan celana jeans panjang juga. Lalu kenapa dia tidak memberi pakaian yang layak kepada putrinya? Hal ini yang menjadi pertanyaan di benak saya.
Jujur saya berharap dugaan saya salah mengenai hubungan ibu dan anak antara balita dan wanita pengamen itu. Mengapa begitu? Saya tidak habis pikir mengapa wanita dengan usia semuda itu sudah memiliki tanggung jawab yang begitu besar. Ke manakah suaminya? Bukankah bekerja adalah hak dan kewajiban laki-laki. Dan bahkan balita sekecil itu juga dilibatkan dalam tanggung jawab orang tuanya untuk mencari nafkah. Balita yang pada umumnya sedang giat-giatnya bermain sambil belajar. Balita yang biasanya cuma menangis dan merengek pada ibunya. Mungkin di luar sana, di berbagai kota besar lainnya (bahkan tidak menutup kemungkinan kota kecil juga) banyak terjadi kasus serupa dengan apa yang saya lihat sekarang ini. Seorang pengemis wanita dengan menggendong anaknya tentunya sudah menjadi pemandangan yang familiar bagi kita. Tapi kejadian balita kecil yang berdiri bis sambil main krempyeng sendiri adalah kali pertama bagi saya. Saya mengerti, mengikutsertakan anak kecil dalam hal ini akan lebih memudahkan mereka untuk mendapatkan simpati. Saya tidak tahu harus kasihan atau malah menghujat. Tapi menghujat siapa? Perlukah melibatkan kombas perlindungan anak? Tapi sekali lagi, siapa yang bersalah dalam hal ini? Situasi kah? Keadaan yang tidak berpihak pada mereka yang memaksa mereka melakukan segala cara. Jadi apa harus kasian kah? Kasihan karena mereka tidak seberuntung kita sekarang. Atau mungkin memang kehidupan jalananlah yang begitu berat hingga tak mampu ternalar lagi oleh saya……

No comments:

Post a Comment