Thursday, April 16, 2015

Menuju Stasiun Pasar Turi Surabaya dengan Bis Kota

Di minggu pertama bulan April kemarin kami menyempatkan pulang kampung. Maklum, ada tanggal merah di hari Jumatnya, peringatan Good Friday katanya. Dari Probolinggo, kami menggunakan bis patas seperti biasa, lumayan kaget harganya melonjak tajam dari harga yang saya ingat sebelumnya. Sebagai informasi, tarif bis patas Probolinggo – Surabaya dan sebaliknya adalah Rp30.000. Padahal dulu semasa kuliah tarifnya hanya dua puluh ribuan.


Setelah sampai di terminal Bungurasih Surabaya, saya mengajak cami menggunakan bis kota saja ke Stasiun Pasar Turi. Ini kali pertama cami menggunakan bis kota ke sana. Biasanya selalu memakai taksi Orange, ongkosnya sekitar Rp150.000 (setahun lalu). Dibandingkan dengan bis kota tentu saja beda jauh. Bis kota tanpa AC jurusan terminal Bungurasih – Pasar Loak - Pasar Turi – JMP ini tarifnya Rp6.000 saja per orang.

Singkat kata, doa kami komat-kamit supaya jalanan lancar tanpa macet Alhamdulillah terkabul. Tidak sampai satu jam, kami sampai di depan Pasar Turi. Benar, pasar Turi yang dimaksud memang sekarang ernama PGS alias Pusat Grosir Surabaya. Saya agak bingung saat kenek bis menurunkan kami di depan PGS, tetapi dia bilang kami tinggal masuk ke pasar lewat jalan belakang hingga bertemu stasiun.

OK, karena waktu masih satu jam lagi dari waktu keberangkatan kereta, kami lumayan santai. Kami berjalan masuk ke area PGS, bertanya beberapa kali ke security dan orang yang kami temui, dan akhirnya kami melihat rel kereta. Sebuah titik terang. Ternyata memang ada jalan pintas ke stasiun Pasar Turi di belakang PGS. Tepatnya di belakang parkiran, sebelahan dengan Kalog.

Kami masuk, menyeberang rel dan ternyata kami sudah masuk ke area boarding (entah apa sebutannya untuk lokasi penumpang yang sedang menunggu kereta datang di stasiun). Jadi kami langsung masuk ke dalam stasiun tanpa melewati petugas checking stasiun. Terang saja, ketika polsuska melihat kami, mereka dengan bersemangat mengusir kami dan menganjurkan kami untuk masuk lewat jalur yang sebenarnya, dari depan stasiun melewati checking. “Toh, waktunya masih satu jam lagi Mas, Mbak,” kata petugas stasiun.
Well, kami akhirnya keluar dari area stasiun, sesuai dengan anjuran pak petugas. Kami keluar dari arah PGS, benar-benar memutari PGS, kemudian belok kanan. Perjalanan dari titik awal PGS memang hanya sekitar 10 menit jalan kaki, dekat memang, tetapi agak rempong kalau pas membawa banyak barang. Tetapi ada banyak becak yang siap membantu mengantar. Dari PGS ke stasiun tarifnya Rp5.000 hingga Rp10.000.

Kami baru sadar kalau ternyata bis kota yang kami tumpangi berbeda dengan bis kota sebelumnya yang kami pakai beberapa hari yang lalu dari Stasiun Pasar Turi menuju Terminal Bungurasih. Bis yang kami pakai saat itu benar-benar melawati depan stasiun, tidak perlu berjalan jauh. Bis ini melewati pasar kembang yang ada flyovernya. Dulu daerah ini macet sekali, tetapi sekarang sudah tidak, mungkin karena sudah ada flyover. Bis jurusan ini sangat jarang. Butuh waktu sekitar setengah jam lebih-lebih saat menunggu bis lewat. Harus sabar.

Sedangkan bis kota jurusan Pasar Loak – Pasar Turi- JMP ini cukup banyak dan sering sekali lewat tiap berapa menit. Ngetem di stasiun Bungur pun cepat, karena cepat penuh. Jadi kesimpulannya, kalau tidak membawa barang banyak, saya prefer jalan sedikit dari depan pasar turi deh. Apalagi, banyak kuliner enak di depan pasar turi / PGS yang bisa saya coba-coba. Saat itu, saya dan cami menyempatkan diri makan rujak cingur di salah satu warung di sepanjang trotoar depan PGS. Dan rasanyaaaa… uwenaaaak pol. Seperti biasa, saya tidak mau dicampur buah, jadi full sayur dan lauk rujaknya. Yang jual benar-benar orang Madura sepertinya, jadi rujak cingurnya benar-benar paasss, menari di lidah. Kalau tidak karena kepedesan, mungkin saya terpikir untuk nambah seporsi lagi. Harga seporsi Rp10.000, sedikit lebih mahal daripada di Probolinggo, apalagi porsinya lebih kecil (daripada perut saya). Tetapi terbayar lah dengan rasanya yang maknyos sekalee.

Oh iya, ada beberapa penjual rujak cingur di sepanjang trotoar. Warung yang kami pilih adalah yang adalah yang menggunakan rak untuk menyimpan bahan rujaknya. Yang lain tanpa rak, jadi ada yang dibiarkan terbuka atau ditutup plastik saja. Posisinya di antara penjual minuman dan es buah.

Selain ini kali pertama menggunakan bis kota ke stasiun Pasar Turi, ini juga kali pertama kami menggunakan kereta api Gumarang, yang bisnis, menuju stasiun Pasar Senen. Informasi dari teman-teman, kereta api bisnis juga nyaman, tidak kalah dengan eksekutif. Dari hitung-hitung ongkos, harga tiket bisnis ini separuh dari tiket Sembrani eksekutif yang sebelumnya kami gunakan. Big deal banget kan? So far, Gumarang bisnis memang cukup nyaman, kursi terkesan lebih luas karena tanpa pembatas dengan kursi sebelahnya. Colokan listrik ada 2 (padahal eksekutif hanya ada 1 colokan). Ada selimut dan bantal juga (tetapi sewa, Rp5000 each). Sandaran kursi bisa digeser-geser sehingga bisa berhadap-hadapan kalau sedang membawa keluarga besar. Overall nyaman, mungkin saya akan memilih kereta jenis bisnis lagi kalau pas jam keberangkatan dan kedatangannya cocok. 

So begitulah ceritanya, setelah jalan sana sini, diusir-usir juga, tetapi kami bersyukur telah menemukan hikmah di balik itu semua, yaitu menemukan rujak cingur enaaak di sana pas banget pas lapar. Kebetulan ketika di Probolinggo belum sempat beli, jadi rasanya gimanaa gitu pas akhirnya ketemu *grin*.

2 comments:

  1. beeuhh...rujak cinguurrr...

    mauuu :D hehehe

    ReplyDelete
  2. Wah kerja di probolinggo kah atau sedang berlibur di probolinggo

    ReplyDelete