Thursday, October 9, 2014

Kumpulan cerita pengalaman kena tilang part1



Saya yakin sih, pasti hampir semua orang pernah kesandung tilang di jalan, baik saat naik mobil maupun motor. Berhubung saya belum bisa nyetir mobil dan belum beli mobil juga, jadi ini ceritanya pas saya kena tilang motor ya *catet*.
Kalau ditanya sudah berapa kali kena tilang, hmmm jujur lupa, lumayan sering sih, hampir tiap tahun ada-ada saja ceritanya, kecuali tahun lalu, saat saya stay di kawasan Lippo Cikarang. Secara, saya tidak membawa motor, hanya nggowes alias bike to work. Sesekali pakai motor, itupun pinjam dari teman dan jarang sekali sampai ke jalan besar *jadi tidak sempat ketemu polantas sehingga tidak ada yang menilang*. 

1.   1.   SMP
Saya lupa sih persisnya kapan pengalaman tilang pertama saya. Sepertinya sih sekitar usia SMP. Ya, memang saya sudah belajar naik motor sejak SD kelas 5. Kebetulan jarak sekolah dan rumah cukup jauh, jadi saya tertarik untuk belajar sejak dini, tapi cuma belajar saja, tidak sampai jalan sendirian pakai motor. Masuk jenjang SMP, yang jaraknya masih jauh dari rumah *nasib rumah di desa*, saya mulai berani pakai motor ke sekolah, untuk keperluan kegiatan ekstrakurikuler di sore hari. Ini SMP paling favorit di kota saya, makanya jauh-jauh dibelain juga *sedikit pamer*. Pada jaman itu, masih jarang sekali bocah SMP bawa motor ke sekolah lhoh. Jadi kalau saya ingat-ingat, motor yang parkir di sana hanya beberapa, dan itupun anak cowok semua yang bawa. Yasudahlah, saya tetep PD saja, daripada saya harus nggowes dari rumah seperti semasa SD dulu, lumayan bikin saya kurus kering *sekarang malah susah langsing *. 

Naah, saat-saat kegiatan sore ini nih, saya akhirnya mengalami pengalaman tilang pertama. Ceritanya nih, lagi ada razia di jalan raya yang biasa saya lewati, seingat saya di jalan Soekarno Hatta Probolinggo. Dari kejauhan sih saya sudah bisa melihat ada yang ramai-ramai di depan. Muncul ide cerdas saya untuk segera belok kiri ke gang kecil untuk menghindari pengecekan polisi. Tapi apa daya, sepertinya saya kurang cerdas karena gang yang saya pilih terlalu dekat dengan lokasi dan memang di sana sudah siap beberapa polisi yang standby menyambut saya *alamak*. Sukses kena tilang gara-gara saya belum punya SIM. Saya tidak bisa berkelit, tidak melawan hanya pasrah menunggu polisi menyerahkan surat tilang dan STNK motornya diminta untuk dijadikan jaminan. Sesampainya di rumah, saya serahkan ke orang tua. Done.Saya tutup mata tentang proses menebus STNK dan berapa denda yang harus dibayarkan.

2.   2.  SMA
Pengalaman selanjutnya adalah saat saya sudah di bangku SMA. Saya kena tilang di daerah mana yaa, saya lupa. Yang jelas saat itu saya dalam perjalanan pulang dari rumah teman di daerah Dringu, Kab Probolinggo. Saat mulai memasuki kota, kena razia lagi. Dari jauh sudah keliatan, tapi tidak ada jalan tikus untuk lari. Lagi-lagi pasrah, kena tilang gegara belum punya SIM. Saya kurang  paham bagaimana mengurusnya, seingat saya, melalui sidang. Tentu saja yang mengurus sidang adalah orang tua saya, saya tidak ikut-ikut.  Teman saya pada saat yang sama juga kena tilang, padahal dia punya SIM dan surat kendaraan lengkap *meskipun SIM nya nembak*. Eh ternyata yang dimasalahin adalah lampu belakang motor yang katanya menyilaukan pengendara di belakangnya. Saya  kurang paham juga silaunya bagaimana tapi memang teman saya ini hobi modif motor sih. 

Memasuki bangku kuliah, akhirnya orang tua saya membuatkan saya SIM, karena saya harus belajar di luar kota yang jauh dari pengawasan. Awalnya sih mau dapat SIM nya dengan jalan lurus alias lewat lulus tes meskipun orang tua menyarankan untuk langsung tembak saja. Maklum, saya sudah jadi mahasiswa dan waktu di kampung palingan hanya Sabtu Minggu saja. Saya sok idealis ngotot ingin ikut tes. Oke, akhirnya saya daftar SIM ditemani ayah. Saya ikut tes tulis, soalnya seputar peraturan lalu lintas. Intinya bagaimana kita ber-attitude di jalan lah. Oke lulus. Alhamdulillah, saya semakin percaya diri untuk lulus tes SIM dengan jujur. Tes selanjutnya adalah tes ride. Awalnya saya membayangkan kalau tes ride nya adalah tes mengendarai motor seperti biasanya. Eh ternyata ini tes nya jauh dari bayangan. 

Tesnya membuat saya gerah. Bagaimana tidak gerah kalau tesnya outdoor dan saat matahari teriknya minta ampun. Tes ride adalah mengendarai motor dengan berkelok-kelok. Persis seperti latihan dribble bola. Hanya ini objeknya bukan bola tapi motor. Kebayang kan susahnya. Jadi kaki kita sama sekali tidak boleh menyentuh lantai, harus tetap di motor selama menyetir berkelok-kelok ituh. Sudah mencoba beberapa kali dan tetap saja kaki sempat menyentuh lantai untuk menahan motor. 

Jujur, menurut saya tesnya ini tidak cukup mencerimnkan keadaan real ya. Mana ada medan di lapangan dengan jalan berkelok sesempit itu kan. Dan kenyataan di lapangan pun kaki kita bebas menyentuh lantai kok. Bahkan jalanan super macet Jakarta pun masih lebih mudah dilalui daripada tes ini. Alhasil, saya gagal tes ride. Dan akhirnya saya pasrah ke orang tua saya untuk mengurus SIM. Yang saya dengar sih biaya pembuatan SIM nya hampir dua kali lipat lebih tinggi daripada kalau ikut tes. Saat itu saya kena charge sekitar Rp 220.000 di tahun 2007.

3.  3.   Mahasiswa – cari data tugas akhir
Di kota tempat kuliah, saya semakin percaya diri membawa motor ke sana sini, karena sudah punya SIM *grin*. Saat kuliah memang intensitas mengendarai motor cukup tinggi karena saya pergi mengajar privat setiap hari dan ada beberapa kegiatan di kampus juga.
Meskipun sudah punya SIM, ternyata tidak berarti bahwa kita bebas tilang *sigh*. Di kota pahlawan ini, saya pun beberapa kena tilang karena hal-hal sepele. Yang namanya kota besar, tentu jalanannya berbeda dengan kota asal saya. Di Surabaya ini jalanannya besar lebar dan banyak garisnya. Pernah suatu ketika, saat saya sedang menuju ke arah kantor Telkom di sebelah Tunjungan Plaza dan saya dari arah Delta Mall, saya kena tilang karena telat ambil arah kanan saat akan belok kanan. Jadi seharusnya dari jauh-jauh saya ambil garis paling kanan sebelum belok kanan *huffttt*. Pas banget di belokan ada pos polisi. Sukses deh pak polisinya menghentikan motor saya. 

Ada dua pak polisi yang cukup muda di sana. Seorang di antaranya menjelaskan kesalahan saya yang telat ambil jalur kanan. Saya melawan mengatakan bahwa yang penting kan saya pasang lampu sein belok kanan. Saya rasa pun saya sudah ambil kanan lumayan jauh dari belokan. Entah ini pak polisi memang sangat tegas atau ada udang di balik batu, yang jelas saya masih berusaha untuk mempertahankan diri. Beberapa kali melihat jam karena saya sudah ada janji dengan pihak kantor tempat saya mengambil data tugas akhir. Akhirnya saya menyerah dari adu pendapat. Seorang pak polisi mengatakan bahwa saya kena tilang dan harus membayar sejumlah denda. Polisi yang satunya lagi meminta uang denda sebesar Rp.100.000. Gila! Pikir saya. Saya ini mahasiswa, kuliah dapat beasiswa, biaya sehari-hari dari kerjaan freelance, masa harus setor segitu ke Pak Polisi. SIM saya ditahan sebagai jaminan dan mau tidak mau saya tidak bisa mundur. Saya lirik isi dompet tidak ada banyak uang, hanya beberapa lembar uang sepuluh ribuan. Seratus ribu jelas tidak mungkin saya berikan sekarang. Sepertinya pak polisi “agak mengerti”, jadi mereka menurukan tarif menjadi Rp. 50.000. 

Ya Alloh, ini saya mulai berpikir kok denda tilang bisa ditawar-tawar ya. Kayaknya pak polisi ini kok main-main dengan saya. Saya bilang bahwa saya tidak ada uang sama sekali. Saya ikut sidang saja. Dalam hati sebenarnya cukup nekat, karena saya belum ada bayangan seperti apa itu sidang tilang. Dimana dan apa yang harus saya lakukan saat sidang. Tapi mau bagaimana lagi, saya kok jadi tidak rela mau bayar denda di tempat saat melihat wajah pak polisinya itu. “Yakin mau sidang mbak? Jauh lhoh, mahal nanti tebusannya”. Dengan mantap saya tidak menggubris apa kata pak polisi. “Iya saya sidang saja Pak. Mau bayar di sini juga saya tidak ada uang.” Well, inilah pengalaman tilang saya pertama yang harus saya urus sendiri. 

Sekitar 3 hari kemudian saya menghadiri sidang tilang. Lumayan sempat bingung nyasar ke sana sini saat mencari lokasi pengadilannya. Saya lupa, tapi sepertinya saya sempat lewat pasar Blauran saat perjalanan pulang. Saya bersyukur sekali bisa mencapai lokasi sidang tepat waktu, tidak telat. Suasananya sangat ramai dan banyak calo yang menawarkan untuk menggantikan kita mengantri sidang. 

Saya masih blank, no idea bagaimana sidang tilang itu. Saya mencari nama ruangan seperti yang tertulis di surat tilang dan akhirnya ketemu. Dan wow super duper rame bokkk! Saya berdesak-desakan untuk bisa masuk ke ruangan pengadilan. Wow jadi ini bentuknya persidangan tilang. Ruangannya sama persis seperti ruang persidangan yang biasa kita lihat di TV. Hanya bedanya ini orangnya banyak banget. Penuh sesak. Dengan susah payah akhirnya saya menemukan kursi kosong untuk saya tempati sembari menunggu giliran sidang saya.

Bagaimana kita disidang? Ternyata semua orang di sini adalah orang-orang yang menunggu sidang tilang. Dan sidangnya tidak seperti yang kita bayangkan dari TV. Jadi bila nama dipanggil, orang itu langsung maju ke meja staf-staf pengadilan *mungkin hakim pengadilan* di  meja depan pengadilan. Kemudian tanda tangan beberapa kali, membayar denda sejumlah tertulis di kertas yang diberikan, dan selesai. Yup, that’s it. Kalau sudah dipanggil ya prosesnya sepertinya tidak sampai 5 menit. Yang bikin lama adalah ngatrinya itu. Entah ada berapa ratus orang ya ini yang menunggu sidang sebelum akhirnya nama saya juga dipanggil. Tanda tangan sebentar beberapa kali, membayar denda, hanya sekitar Rp 20.000 an. Kemudian done. So simple ternyata kalau diniatin ya. Hehe dan yang pasti, dag dig dug saya akhirnya terjawab dan melegakan. Ternyata kalau ikut sidang, nominal dendanya tidak sebegitu menyeramkan daripada bayar di tempat tilang, misalnya ke Pak Polisi yang saya ceritakan sebelumnya.   Dan satu lagi, uang denda pasti masuk ke kas negara, bukan ke kantong pribadi yang tidak jelas. Meskipun cukup rempong juga sih sidang ini, karena hampir pasti sidangnya di weekdays, bukan weekend.  Jadi kalau orang kantoran harus ijin dulu kan kalau mau ikut sidang. 

Tidak terasa ternyata tulisan saya sudah lumayan panjang ya. Apakah cerita pengalaman tilangnya sudah habis? Sayangnya belum. Masih ada beberapa lagi. Kita sambung di post selanjutnya ya. Semoga bermanfaat.

No comments:

Post a Comment