Tuesday, May 19, 2015

Masih Perlukah Ujian Nasional Sekolah Itu?

Di hari yang panas ini, saya kenyang sekali. Hmm, tetapi saat ini saya sedang tidak ingin membicarakan makanan. Saya ingin membicarakan tentang sekolah. Sekolah yang sudah beberapa tahun saya tinggalkan, nampaknya memang sudah sangat berbeda dari zaman saya *kayak sudah umur berapa ya*. Ini dimulai dari seorang Ibu di kantor, yang membawakan kami makanan enak, sabu-sabu. Kami sibuk makan tetapi orang yang memberi entah berada di mana.

Ternyata si Ibu baik hati yang dermawan ini sedang sibuk di Diknas katanya, gara-gara nomor NIS (nomor induk siswa) milik putranya bermasalah *entah hilang atau ada kesalahan data diri*. Well, saya juga baru paham kalau sudah ada perubahan yang sangat jauh dari masa saya sekolah dulu. Sekarang, kartu NIS harus disimpan sejak siswa menjalani ujian nasional di bangku sekolah Dasar. Informasi data diri yang tersimpan di NIS ini tidak boleh salah, karena berakibat Anda harus sibuk wira-wiri ke diknas seperti Ibu di kantor saya ini. ZZzzz, rempong sekali ya.

Jujur, ini adalah uneg-uneg saya sejak beberapa bulan lalu ketika saya tanpa sengaja menemukan artikel menarik di detik.com mengenai seorang anak yang berhasil lulus dengan sangat baik dari salah satu perguruan tinggi negeri terbaik di Indonesia dengan usia yang terbilang muda. Beritanya cukup heboh dan saya yakin Anda juga pernah mendengar berita tentang sosok unik berprestasi ini, Andri Rizki Putra. Dengan sedikit browsing, saya pun langsung menemukan serentetan informasi tentangnya.

Satu hal yang membuat saya terkagum-kagum adalah karena latar belakangnya yang tidak melalui sekolah menengah atas. Ya, hanya berbekal ujian paket untuk mendapatkan keseteraan lulusan SMA, dia berhasil membuktikan bahwa lembaga resmi pendidikan ini bukan satu-satunya jalan meraih kesuksesan.

Sontak saya terbangun dari mindset yang selama ini terbangun dalam diri. Saya akui, saya juga berpendapat sama dengan kebanyakan orang, sekolah adalah nomor satu. Tetapi saat ini, sedikit ada pergeseran tentang apa sebenarnya sekolah itu? Terlebih setelah saya menyunting artikel mengenai unschool: Cara Tidak Menyekolahkan Diri Sendiri beserta Anak‐Anak Anda. Sebenarnya tidak salah bila saya berpikir bahwa sekolah adalah nomor satu, tapi ada salah satu kata yang harus saya revisi, menjadi “pendidikan adalah nomor satu”.

Bila dulu setiap orang mengagung-agungkan sekolah mungkin memang tidak salah. Tetapi masalahnya zaman sekarang sudah berubah. Sekolah sudah bukan lagi sumber pendidikan terbaik untuk generasi muda. Nilai-nilai moral yang baik sepertinya sudah mulai tidak diterapkan dengan baik di lembaga resmi ini. Saya merasa agak miris ketika membaca berita tentang tindakan criminal yang dilakukan orang siswa-siswa yang mulai marak belakangan ini.

Apa yang salah dari sistem pendidikan ini? Saya teringat bagaimana dulu saya mendewa-dewakan nilai sekolah saya. Harus nomor satu lah, tidak boleh di bawah tiga besar lah, dst. Saya yakin itulah apa yang ada di pikiran kebanyakan orang. Saat itu saya terus berpikir bagaimana caranya untuk berada di puncak. Belajar semalam suntuk, pagi agak ngantuk tapi ditahan-tahan. Kadang saat ujian tidak sempat mandi pagi, karena pagi pun masih belajar lagi *tetapi pulang ujian langsung mandi*. Semua dilakukan membabi buta demi nilai bagus. Pernah saat SMP saya tidak berhasil mempertahankan tahta 3 besar saya. Saya bahkan tidak masuk 10 besar kota sama sekali *di saat yang sama, di sekolah yang berbeda, cami berhasil di puncak tahta*.

Sedih sekali rasanya melihat teman-teman naik panggung, saya hanya menjadi penonton. Inilah pikiran yang tertanam di otak saya semasa sekolah. Nilai nilai nilai dan nilai. Semua dilakukan demi angka bagus di rapot. Lalu bagaimana dengan kehidupan yang lain? Nol. Saya tidak mempunyai keahlian khusus lainnya selain menyanyi. Saya aktif menjadi tim paduan suara dan mengikuti beberapa perlombaan antar kota. Pun, menurut saya, itu hanya bakat setengah-setengah karena hanya lalu begitu saja karena saya tidak menekuninya.

 Saya sempat khawatir tidak bisa melanjutkan SMA di sekolah favorit di sekolah saya. Saat saya mendaftar ke SMA, di hari pertama pendaftaran nilai UNAS SMP saya berada di urutan sekitar 10 atau 11. Tidak buruk memang, tetapi saya tidak biasa di angka itu. Tiga besar adalah target saya sejak kecil. Setelah menjalani ujian masuk SMA yang kemudian nilainya dirata-rata dengan UNAS SMP, peringkat saya naik di tiga besar. Done. Target tercapai. Now what? Di SMA pun Alhamdulillah saya mendapatkan peringkat 1 UNAS SMA di kota saya. Then what? Ternyata tidak ada efek yang terlalu bagaimana-bagaimana, di bangku kuliah pun harus bersaing dengan mahasiswa-mahasiswa keren dari berbagai sekolah favorit. Nilai saya agak tumbang di sini. Kuliah molor dan IPK juga tidak cumlaude (tetapi sudah lumayan lah, level aman) *grin*

Bagaimana dengan menyontek? Sesekali pernah menyontek. Tentu saja. Di sekolah Dasar menyonteknya masih malu-malu, di SMP sangat malu, di SMA sedikit malu, di kuliah naik ke level tidak tahu malu *tepok jidat*. Kalau ujian saya tidak menyontek, tetapi tugas kampus sangat sering menyontek. Sudah budaya yang berakar. Satu mahasiswa mengerjakan tugas, 100 mahasiswa lain tinggal menyalin.

Kembali ke topik ujian nasional, lalu apakah sekarang tujuan dari ujian nasional. Tidakkah kita semua semakin melihat bahwa ujian nasional semakin banyak kecurangan. Kalau dulu, mungkin siswa malu-malu saat menyontek. Semakin ke sini-sini, guru-guru di sekolah malah menyarankan siswa-siswa yang pandai untuk membantu temannya yang membutuhkan katanya. Kalau saling belajar bersama sebelum ujian sih OK, membantu teman belajar namanya, seperti ketika zaman saya dulu. Tetapi kalau membantu saat ujian berlangsung itu apa namanya? Ini benar-benar terjadi, zaman adik saya sudah mendapatkan himbauan macam ini. Saya kaget bercampur geli saat itu.

Bagaimana moral generasi muda akan dibangun dengan baik bila ujian nasional saja sampai menghalalkan segala cara? Apa yang sebenarnya dikejar? Hanya angka kan? Angka bagus dengan cara pintas dan celakanya malah didukung oleh pihak pemberi teladan. Tidak heran kalau anak-anak sekarang berbeda dengan generasi sebelumnya.

Setelah menyunting artikel itu saya jadi mendapatkan pengertian lain tentang apa sebenarnya pendidikan itu. Pendidikan lah yang kita semua butuhkan. Tetapi bukan berarti pendidikan hanya dari sekolah. Ada banyak media yang dapat digunakan untuk memintarkan diri, seperti home schooling atau bahkan unschooling, seperti di artikel di atas. Dengan unschooling, orang tua lah yang menjadi sumber pendidikan anak-anaknya. Orang tua harus cerdas menggali informasi. Tetapi bukan berarti orang tua harus menjadi superman yang serba bisa. Ada berbagai cara yang bisa kita ambil untuk mengembangkan kemampuan anak.

Saya sudah agak capek mengetik ini. Hehe.. intinya, dari artikel itu saya mulai menggeser pemikiran saya tentang dewa angka. Tentang definisi pintar. Tentang lembaga resmi yang namanya sekolah. Tidak semua sekolah baik, maka pilihlah dengan tepat yang sesuai dengan kebutuhan Anda. Tidak semua anak-anak balita harus pandai baca tulis berhitung, karena sebenarnya belum saatnya otak meraka memikirkan hal semacam itu. 

Bila memang belum menemukan sekolah yang tepat untuk anak, tidak ada salahnya untuk memilih unschool. Tentu saja, orang tua harus mau meluangkan waktu untuk membagi ilmu dengan buah hatinya. Bagaimana dengan legalitasnya? Ijazah misalnya? Setelah browsing mungkin Anda akan menemukan sebuah sertifikasi internasional yang bahkan diakui di seluruh sekolah di dunia, tidak hanya di Indonesia. So, Anda bisa memilih ujian sertifikasi penyetaraan nasional (berbagai paket) atau international dari Cambridge yang dapat dijumpai di kota-kota besar Indonesia. Dengan unschool Anda dapat mengarahkan dan menguatkan potensi anak sejak dini.


Bagaimana dengan biaya? Terbilang hemat karena Anda tidak perlu menyiapkan uang gedung, SPP, uang buku dan tetek bengeknya. Cukup menabunglah untuk biaya sertifikasi jika Anda menginginkannya. So, tertarik untuk mempelajari unschool lebih jauh?

No comments:

Post a Comment